Bubuka
Mumpung ana rejeki, ora salah ta melu ngrameni ekosistem budaya Jawa ing bidang tulisan? Khusus ing sasi November nganti Desember taun 2019 iki, Jawasastra mbukak lowongan penulis kanggo para dulur-dulur sing gelem nulis artikel. Sisteme yaiku sistem kontrak sing suwene rong sasi. Aja kuwatir, Jawasastra bakal ngewenehi ragat kanggo butuhe dulur-dulur. Senadyan ora akeh, tetep kepetung lumayan ta? Bisa nambahi nggo tuku rokok utawa kopi kanggone sing lanang, nek kanggone sing wedok bisa tuku sandhangan anyar utawa make up anyar. Urusan arepe kok nggo apa upahe ya sakkarepmu. Anggonmu nulis temane bisa sakkarepmu dhewe anggere isih sajroning tema budaya Jawa. Nanging kudu tetep siyaga umpama sakwayah-wayah Jawasastra jaluk digawekake tulisan kanthi tema tatemtu. Nyambut gawe bareng Jawasastra iki ora kudu kanggo dulur-dulur sing domisili Yogyakarta. Dulur saka Jawa Tengah lan Jawa Timur ya bisa melu urun amerga cara kerjane kanthi sistem remote. Cukup via WA lan email. Jawasastra butuh penulis sing cacahe mung siji. Mula bakal ana seleksi dhisik kanggo dulur-dulur sing nglamar. Sawetara wektu iki Jawasastra durung bisa mbukak akeh jalaran isih ana program Jawasastra liya sing isih lumaku. Ing ngisor iki ana syarat-syarate, berkas sing kudu dicepakake, lan kaya piye gambaran olehmu bakal nyambut gawe bareng Jawasastra. Lowongan iki ditutup tanggal 20 November 2019. Wara-wara tanggal 25 November 2019. Syarat
Berkas sing Dicepakake
Kirimen berkas-berkas ing dhuwur kuwi menyang email [email protected] subyeke yaiku Nyambut Gawe Jawasastra_Jenengmu Gambaran Nyambut Gawe Anggonmu miwiti nyambut gawe bareng Jawasastra yaiku tanggal 26 November 2019. Nek ketampa kowe kudu nulis kanggo Jawasastra. Temane bebas, nanging sakwayah-wayah bakal ana tema tatemtu sing diwenehake menyang kowe. Wektu nulismu rata-rata limang dina. Intine saben minggu kowe kudu setor tulisan, nganti minggu pungkasan sasi Desember. Banjur, tulisanmu kuwi bakal dikoreksi dening tim Jawasastra. Nek ana sing kurang kowe bakal dikon mbenahi. Topik tulisane bakal beda-beda nanging sing cetha tetep sajroning budaya Jawa. Dadi aja wedi. Sakliyane kuwi, saben tulisanmu bakal diwenehi upah 50 ewu. Cara pembayarane yaiku saben rong tulisan rampung. Panutup Cukup semono wae ya dulur. Muga-muga upaya iki bisa dadi sarana njaga ekosistem budaya Jawa. Nek ana sing durung cetha bisa kontak WA-081358144642. Maturnuwun
0 Comments
Latar Belakang
Hal apa, benda apa, produk apa, jasa apa, dan bahkan budaya lokal Nusantara mana yang tidak terancam oleh tagline disrupsi 4.0? Bukankah jawabannya sudah jelas? Tidak ada! Budaya Jawa sendiri, khususnya sastra Jawa modern, mendapat tantangan yang lebih besar dibandingkan tahun-tahun kejayaan roman picisan atau novel saku. Setelah mengamati geliat sastra Jawa modern, setidaknya ada tiga pokok pikiran dari Jawasastra mengenai sastra Jawa modern sekarang ini. Antara lain; utopis, gloris, dan pesimis. Utopis menandai pandangan seorang sastrawan Jawa yang terlampau optimis pada kehidupan sekaligus iklim ekosistem sastra Jawa. Menjelajah kemungkinan-kemungkinan yang sebisa mungkin diraih tanpa adanya pertimbangan yang diberangkatkan dari interdisiplin ilmu pengetahuan pembentuk sastra Jawa, termasuk di dalamnya adalah soal media, teknologi dan informasi. Gloris sebenarnya hampir sama dengan utopis, namun dalam prakteknya lebih berupa glorifikasi yang keterlaluan terhadap karya-karya sastra Jawa masa lampau. Sehingga dalam upaya penghidupan sastra Jawa modern berusaha disejajarkan dengan era-era kreasi sastra Jawa masa Ranggawarsitan atau lebih tua lagi. Terakhir, pesimis. Pandangan ini dapat muncul di kalangan sastrawan Jawa maupun awam. Bahwa setelah mengamati desakan-desakan arus budaya global (asing) yang meringsek masuk di tanah Jawa, rasanya mustahil sastra Jawa modern sanggup mengimbanginya. Ketiga pandangan di atas sama sekali tidak masalah. Setiap orang Jawa punya hak untuk ngugemi apa yang menjadi kepercayaannya. Orang lain boleh saja tidak sependapat tapi tidak berhak melarang. Sebab di masa disrubsi 4.0 keraton Jawa telah sepenuhnya berpindah, dari fisiknya yang sentralistik manjing sekarang justru tumbuh dan manjing di benak setiap orang Jawa. Sastra Jawa memang tidak boleh diam. Pergeseran-pergeseran tata cara penulisan sastra Jawa merupakan keniscayaan. Terutama ketika bersinggungan dengan aspek-aspek teknologi. Dulu sastra Jawa ditulis di atas batu, kemudian rontal, setelah itu kertas, dan hari ini sastra Jawa ditulis di layar handphone atau laptop. Salah satu produk teknologi adalah podcast. Prinsip podcast sama persis dengan radio, hanya saja dapat diedarkan lebih luas dan bisa dinikmati sewaktu-waktu. Fenomena podcast saat ini sedang bertumbuh. Saat kesepian, sendirian, dan perlu me time, orang-orang cenderung suka mendengarkan podcast. Oleh karena landasan berpikir yang simpel ini muncul pertanyaan bagaimana wajah Jawa di masa depan? Bagaimana kita saling bertukar gagasan tentang masa depan Jawa secara lebih efektif? Mempersiapkan Diri Intensitas hubungan masyarakat Jawa dengan karya sastra Jawa begitu dinamis. Perubahan zaman menuntut penyesuaian komunikasi antara masyarakat Jawa dengan karya sastra Jawa. Tatkala sastra Jawa dipahami sebagai teks, maka habislah tugas sastra Jawa. Namun apabila dipahami sebagai konteks, sastra Jawa akan terus terbarukan. Baik dari sisi karya maupun pengarangnya. Melalui media podcast, sastra Jawa tidak sekadar dibaca tetapi juga didengarkan, dan mendengar adalah membaca. Sesuai dengan budaya lisan di Jawa yang lebih kuat dibandingkan budaya tulisnya. Hal ini tidak bisa dibantah, kalau mau membantah silahkan tarik peredaran seluruh buku versi audio book yang tersebar di seluruh dunia melalui jejaring internet. Mengingat daya tangkap lisan masyarakay Jawa pada dasarnya lebih kuat dibanding tulis, maka diadakanlah program Antologi Podcast Geguritan. Harapannya melalui program ini sastrawan Jawa bersedia membacakan karyanya, masyarakat Jawa bersedia membaca karya sastra Jawa, dan semua orang Jawa akhirnya berbondong-bondong membaca sastra Jawa dengan cara mendengarkan pembacaannya. Tanggal Penting Pengumpulan audio pembacaan gurit dimulaui dari 28 Oktober 2019 sampai dengan 10 November 2019 Pengumuman atau launching album podcast 30 November 2019 Syarat Ikut Serta Tidak ada batasan usia Program ini GRATIS (tanpa biaya) Warga Negara Indonesia yang mahir berbahasa Jawa Follow instagram @jawasastra Tata Cara Rekam pembacaan geguritan melalui aplikasi perekam suara, entah handphone maupun laptop Pilih format audio WAV/MP3. pada pengaturan aplikasi perekam suara Tidak boleh diedit, sebab nanti editing di tangani Jawasastra Gurit yang dibacakan boleh karya sendiri maupun karya orang lain Batas maksimal pembacaan gurit lima menit Pastikan suara pembacaan yang direkam bersih, tidak ada kebisingan Setelah selesai kirim hasil rekaman suara pembacaan gurit ke email [email protected] dengan subyek; Podcast Gurit_Nama Pembaca_Judhul Gurit. Penilaian Kesesuaian tema Nuansa pembacaan Artikulasi dan intonasi Akan dipilih dua puluh pembacaan gurit terbaik dari yang terbaik untuk dimasukkan di dalam album podcast Adol Prungu. Pembaca gurit yang mendapatkan urutan nomor satu sampai tiga mendapatkan bentuk fisik podcast berupa DVD dan sejumlah souvenir yang akan dikirimkan ke alamat rumah masing-masing. Dua puluh pembaca gurit terpilih juga akan mendapat album podcast berupa softfile yang akan dikirimkan ke email masing-masing atau melalui layanan tertentu. Prospek Setiap rekaman pembacaan geguritan akan diolah oleh Jawasastra dengan diberi iringan asli yang diproduksi Jawasastra. Album podcast geguritan akan disebarkan Jawasastra ke platform Youtube, Spotify, Anchor, dan lain sebagainya. Selain itu album podcast juga akan diiklankan di jejaring media sosial Jawasastra. Sehingga semua orang dapat mendengarkan album podcast geguritan tersebut. Informasi, Donasi, dan Kerjasama Gombalamoh-0813 5814 4642 Misuh merupakan kemampuan alami manusia yang seolah tiba-tiba jatuh dari langit. Tidak ada orang tua maupun guru yang ‘iseng’ mengajarkan cara misuh dengan baik sekaligus benar kepada anaknya. Tidak mungkin juga pembelajaran misuh dimasukkan kurikulum sekolah. Bagaimana dengan peran pergaulan atau lingkungan? Bisa jadi, tapi kebanyakan dari kita bisa misuh karena sekadar meniru dari apa yang tak seharusnya terdengar. Satu hal yang mungkin adalah, setiap makhluk yang punya kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi pasti memiliki kosakata misuh!
Hari Anggara Kasih, tim Jawasastra sedang thenguk-thenguk di latar rumah. Minum kopi, nyedhot rokok, sarungan thok, dan khusyuk menikmati senja lewat Youtube. Saat dalam perenungan cara melunasi hutang, tiba-tiba ada suara ghaib yang berbisik, “Kamu tahu dan mengerti bahasa alam?” Sontak tim Jawasastra terkejut. Suara itu terasa sangat nyata. Memang di beberapa sastra Jawa klasik, seperti Serat Centhini, terdapat pedoman-pedoman khusus untuk memahami alam, tapi bahasa alam sudah termasuk persoalan yang lebih rumit. Dulu tatkala masih imut-imut, tim Jawasastra sering mendengar mitos-mitos aneh yang berkaitan dengan alam dari orang yang umurnya sepuh. “Nek ana swara prenjak berarti kate ana dayoh”, “Nek ora weruh lor kidul sajroning alas, sawangen lumut sing paling teles”, “Sakdurunge udan mesthi sumuk”, dan lain sebagainya. Sealami kemampuan misuh, kehidupan manusia sudah sejak ribuan tahun lalu selalu melibatkan alam dalam berbagai urusan. Khusus untuk masyarakat Jawa, alam yang dulunya diakrabi sebagai kawan kini berakhir menjadi konsep semata. Istilah-istilah memayu hayuning bhawana, jagad ageng jagad alit, dan niteni pranatamangsa sudah jarang diaplikasikan. Satu hal yang cukup menjengkelkan adalah sewaktu ada acara sedekah bumi, ruwat desa, ruwah desa, merti dusun, dll, masyarakat Jawa modern cenderung berstandar ganda. Pada tataran spiritual mereka ingin membangun komunikasi yang selaras dengan alam, tapi di sisi lain mereka justru memakai peralatan ruwatan yang terbuat dari plastik atau setidak-tidaknya malah mengotori alam. Jika masyarakat Jawa modern terus ngeyel berpraktek semacam itu, Jawasastra yakin leluhur-leluhur bahkan arwah penjaga suatu wilayah yang sedang disuguhi sebenarnya bukan mereka hormati namun mereka racuni. Misuh Kanggo Ngrumat Jagad Setelah sedekah bumi dilaksanakan, pisang, ingkung, melati, klobot, serta suguhan lainnya bercampur dengan karbondioksida, bijih plastik, dan limbah pabrik. Para arwah leluhur dan penunggu wilayah akhirnya perutnya mules. Secara bergantian mereka merasakan sakit. Mula-mula Kyai Semar ngentut, lalu hembusan entutnya menerbangkan ratusan rumah. Selanjutnya Hyang Antareja mengeram hebat karena ususnya tak bisa mencerna Polyethylene Terephthalate, Hyang Antareja mulet-mulet menahan sakit, setiap kali beliau mulet bumi menjadi bergetar, gedung-gedung ambruk, dan banyak orang tertimpa rumahnya sendiri. Sekarang bayangkan saja, bagaimana perasaan Kanjeng Ratu Kidul saat mengetahui kolega-koleganya disakiti manusia, entah disengaja atau tidak? Mungkin beliau tidak akan segan mengirim paket gelombang air setinggi tujuh meter! Ngrumat jagad berarti merawat alam sekaligus isinya. Sebisa mungkin mencegah kehancuran atau kerusakan. Meski mustahil membatalkan jadwal kehadiran kiamat, setidaknya kita bisa menundanya. Dengan menumbuhkan kesadaran terkecil dari jagad alit, seperti tidak buang sampah ke sungai, membawa asbak serbaguna, atau meminimalisir penggunaan listrik, kita bisa melangkah ke upaya merawat jagad ageng semacam mengampanyekan kelestarian alam kepada para pejabat dan beberapa orang konglomerat yang sering khianat terhadap jagad (alam). Kemampuan misuh yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, khususnya manusia Jawa, jangan dibiarkan sia-sia. Jangan buat tenaga yang kita keluarkan untuk misuh terbuang percuma. Ada banyak hal yang bisa didapat dari misuh, mulai dari keakraban, kata-kata putus, hingga sebuah tamparan yang mendarat di pipi. Namun dibandingkan hal-hal yang sepele semacam itu, misuh mampu kita jadikan sebagai tombol picu kesadaran untuk kepentingan yang lebih besar, yakni merawat beserta menjaga alam. Target kita di Sayembara Misuh Ronde II sekarang bukan target bebas layaknya Sayembara Misuh angkatan pertama tahun lalu. Sekarang target pisuhan kita adalah perilaku buruk manusia kepada alam. Jadi jangan sungkan untuk melampiaskan umpatan misuh yang terindah sekaligus tak terlupakan. Olah segala emosi, entah sedih, marah, kecewa, atau emosi apapun agar kita sebagai manusia Jawa bisa mengajak manusia Jawa yang lainnya lebih peduli terhadap jagad. Syarat Ikut Serta
Tanggal Penting
Aturan Main*
Penilaian
Tata Tertib
Misuh Ana Njero Pabrik sing Mbuwang Akeh Limbah Misuh Ana Ing Tempat Pembuangan Sampah Misuh Ana Tengah Dalan sing Kebak Asep Kendaraan Misuhi Wong sing Ora Dikenal Amerga Wonge Ngrusak Alam Misuh Nduwur Wit Kelapa Renang Misuh-Misuh Misuh Sambi Mabur Numpak Jaran Misuh-Misuh Numpaki Es Batu Misuh-Misuh Misuh Rong Menit Non-Stop Misuh ora nganggo huruf a-i-u-e-o Kesurupan Pisuhan Misuh Rasa Telek Misuh Rasa Brutu Ora prelu mikiri tantangane. Pisuhanmu sing paling aneh tur nggregetna wong akeh sing tak enteni!!! Penghargaan Juara I Berhak mendapatkan sertifikat dosa elektronik, piala bergilir Dewa/Dewi Misuh, buku Tuladha Hamicara, sorjan, kopi, tembakau gayo 1 ons beserta papir-nya. Juara II Berhak mendapatkan sertifikat dosa elektronik, piala bergilir Raja/Ratu misuh buku Tuladha Hamicara, sarung, rokok kretek Dji Sam Soe, dan gula Juara III Berhak mendapatkan sertifikat dosa elektronik, piala bergilir Jenderal Misuh, buku Tuladha Hamicara, kaos, garam, rambak kulit sapi 1 kg Juara IV Berhak mendapatkan sertifikat dosa elektronik, rokok kretek 76, buku, merica, iket, dan teh Juara V Berhak mendapatkan sertifikat dosa elektronik, buku, micin, teh, dan iket Juara VI Berhak mendapatkan sertifikat dosa elektronik, buku, korek api, dan iket Semua peserta mendapatkan sertifikat dosa elektronik, dan dikirimkan ke email masing-masing pada tanggal 17-18 Oktober 2019. Ganjaran/hadiah para pemenang dikirimkan ke alamat masing-masing pada tanggal 21-23 Oktober 2019 melalui JNE Kontak Jawasastra Pertanyaan-pertanyaan seputar Sayembara Misuh Ronde II Ngrumat Jagad baik teknis maupun kerjasama dapat disampaikan ke nomor whatsapp 081391036155 atau 081358144642. Bisa juga melalui surel [email protected] . Jangan lupa follow Instagram, Twitter, dan Fanspage Jawasastra agar selalu mendapatkan informasi terupdate tentang Sayembara Misuh. Sayembara Misuh adalah satu-satunya sayembara di pulau Jawa, bahkan mungkin Indonesia yang mengangkat kekayaan pisuhan sebagai ajang perlombaan. Jadilah bagian dari sedikit kebanggaan ini! Salam Jiwa Jawa Setiap orang mempunyai hak misuh. Terlebih ketika pada situasi-situasi tertentu yang memang menuntut dilontarkannya pisuhan. Misuh menjadi produk budaya lisan yang melintas zaman, status sosial, dan pranata norma. Dia ada dimana-mana, seakan sudah jadi ketetapan bahwa setiap yang bermulut boleh mengucapkan pisuhan.
Dalam hidup, sudah suatu kewajaran apabila muncul berbagai masalah yang mengundang datangnya depresi, amarah, maupun frustasi. Entah karena urusan kerja, cita-cita, atau cinta. Tahun 2018 tingkat bunuh diri di Indonesia memang menurun, tapi menurunnya tingkat bunuh diri tidak selamanya selaras dengan kualitas hidup. Ada momen-momen tertentu yang justru membalik keadaan. Menyikapi hal itu maka Jawasastra sejak tahun 2018 menggulirkan digital event Sayembara Misuh. Terdapat dua alasan utama kenapa sayembara yang lumayan kontroversial ini digelar. Pertama, untuk menjadi wadah pelepas endapan amarah sehingga mengurangi tingkat depresi masyarakat. Kedua, menjadi jalan pintas untuk mengajak masyarakat lebih mencintai kebudayaan Jawa. Jawasastra yakin bahwa melalui misuh, akan muncul kesadaran kolektif masyarakat Jawa agar senantiasa menguri-uri budaya Jawa dengan cara yang lebih aktual. Setelah sukses melangsungkan Sayembara Misuh di tahun 2018, kini Jawasastra Culture Movement menggelar kembali Sayembara Misuh tahun 2019 dengan tajuk Sayembara Misuh Ronde II. Bertema Swara Ati. Golek Bala (kerjasama) Maksud dari Bala Sayembara Misuh adalah upaya untuk menggandeng pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap kebudayaan Jawa, kepemudaan, dan kreatifitas generasi milenial saat menyikapi kebudayaan Nusantara memanfaatkan jejaring digital. Sayembara Misuh menjanjikan kerjasama yang strategis melalui peranan media sosial dan efek domino dunia digital. Agar lebih mudah menjalin kerjasama, Jawasastra telah menyiapkan dua jenis kerjasama, yakni Bala Ragat (aspek pendanaan) dan Bala Warah (aspek publikasi). Secara lebih lengkapnya silahkan download penjelasan teknisnya disini Beberapa hari sejak sayembara sastra lelampahan diumumkan banyak dulur-dulur yang masih ngawang-ngawang, apa yang dimaksud dengan sastra lelampahan dan bentuk seperti apa yang sebenarnya disayembarakan. Maka dari itu keterangan ini dibuat dengan tujuan meminimalisir salah tafsir. Apabila di dalam penjelasan nanti terdapat kekurangan, Jawasastra meminta pada dulur-dulur agar sudi kiranya menyempurnakan. 🙏 Sastra lelampahan yang dimaksud oleh Jawasastra pada dasarnya ialah 'sastra perjalanan' jika dalam ranah sastra Indonesia atau 'travel writing' kalau dalam ranah sastra Inggris. Hanya saja sesuai dengan konteks pergerakan Jawasastra maka sastra lelampahan bisa dimaknai dengan 'sastra perjalanan' atau 'travel writing' yang ditulis menggunakan bahasa Jawa. Lelampahan berasal dari kata dasar 'lampah' yang berarti 'laku'. Sedangkan kata 'laku' menurut Baoesastra Djawa berarti 'tindak, obah sarana napakake sikil', 'obah maju ora mandheg', 'lelungan', 'tapabrata', lsp. Kata dasar 'lampah' kemudian mengalami pengulangan 'Dwi Purwa Salin Swara' sehingga timbul kata 'lalampahan' yang kemudian lebur menjadi 'lelampahan'. Kata 'lelampahan' secara lugu dapat diartikan 'perjalanan'. Lelampahan kalau dilihat pada konteks sastra Bali berarti teks drama. Hampir sama dengan kata 'lampahan' yang berarti 'lakon' jika dilihat dengan perspektif seni wayang. Mengingat yang dimaksud Jawasastra ialah 'lelampahan' dengan makna 'perjalanan', maka dulur-dulur jangan mengartikan sayembara sastra lelampahan ini sebagai sayembara menulis naskah lakon atau naskah drama. Woke? Tradisi penulisan sastra Jawa bergenre sastra lelampahan sebenarnya sudah dimulai sejak dahulu. Salah satunya Kitab Desawarnana atau Negarakrtagama yang mengisahkan perjalanan Prabu Hayam Wuruk ketika mampir di desa-desa wilayah Majapahit dalam perjalananya menuju Lamajang. Begitu juga dengan serat Centhini yang mengisahkan perjalanan Seh Amongraga. Benih modernitas sastra Jawa dalam konteks penulisan sastra lelampahan dikemukakan George Quinn, yang lalu disebutnya dengan sastra Jawa genre Andan Lelana. Tahun 1865 Bupati Demak R.M.A Candranegara menjadi pelopor pertama modernisasi sastra lelampahan (Andan Lelana). Di tahun tersebut R.M.A Candranegara menerbitkan Cariyos Bab Lampah-Lampahanipun Raden Mas Arya Lalana. Masih menurut Quinn dalam bukunya Novel Berbahasa Jawa yang coba Jawasastra interpretasikan, Andan Lelana memiliki karakteristik penulisan yang lugu dan apa adanya. Terkadang juga kocak, namun senantiasa terikat pada aspek romantika ala Jawa. Selalu menarik hati dan mengundang rasa penasaran. Babak baru sastra Jawa genre sastra sastra lelampahan bisa saja disamakan dengan The New Journalism yang dicetuskan Tom Wolfe di tahun 1960-1970 an. Menariknya sastra Jawa ternyata mendahului 'The New Journalism' ketimbang The New Journalism versi Tom Wolfe itu sendiri. Perbedaannya The New Journalism lebih merupakan teknik bercerita dalam menyampaikan berita dengan memadukan fakta, data, dan kemahiran storytelling dalam berbagai jenis berita apapun, sedangkan sastra lelampahan lebih menekankan pada penceritaan pengalaman batin tatkala melakukan perjalanan mengunjungi atau menuju suatu tempat dengan tetap menangkap detail-detail fakta yang tersaji. Baik berupa panorama alam maupun adat masyarakat. Sayang sekali sastra Jawa genre sastra lelampahan pada saat ini kurang mendapat perhatian baik dari kaum akademis maupun praktisi sastra Jawa. Pasca penelitian George Quinn tentang Andan Kelana, belum ada tindak lanjut yang nyata tentang sastra perjalanan berbahasa Jawa bila memperhatikan sisi praktisinya, bukan akademisnya. Padahal menurut kami genre sastra lelampahan ini mampu menjadi tombol picu untuk mengaktifkan organ-organ budaya Jawa secara utuh dengan menggunakan medium sastra Jawa apabila dieksekusi secara intens serta berkelanjutan. Tentunya secara otomatis entah di tahap penggalian data atau proses menulisnya muatan sastra Jawa di dalam sastra lelampahan akan langsunh berselaras dengan zaman sebab bersinggungan langsung dengan lingkungan, kebudayaan, dan pola-pola modernisasi. Oleh karenanya tidak mengherankan bukan kalau Serat Centhini dianggap sebagai Ensiklopedia Budaya Jawa oleh banyak orang dan Kitab Negarakrtagama sebagai informasi paling valid (meski banyak yang enggan menganggapnya demikian karena Negarakrtagama yang bersifat pujasastra) untuk mengetahui seperti apa Majapahit waktu itu? BERSAMBUNG (Ndang cepak-cepak bahane dulur, ganjarane lumayan lho) |